Malam ini sinar rembulan sangat terang. Ini malam bulan purnama. Aku duduk sendiri di teras rumah sambil memainkan gitar tua yang di belikan orang tuaku waktu sekolah di SMP dulu. Lampu teras itu sengaja ku buat agak remang sehingga tidak begitu kelihatan bila ada orang berjalan di depan rumahku.
Jam dinding menunjukkan jam sebelas malam. Aku menyanyikan lagi Wali Band yang berjudul takdirkan. Saat ini aku terbayang sahabatku Warti yang jauh di sana yang sedang menimba ilmu di Fakultas kedokteran di salah satu Universitas ternama di ibukota. Sedangkan aku diterima di Universitas Negeri di ibukota provinsi pada jurusan Mesin. Kami berpisah sejak tamat SMA. Sekarang sudah memasuki tahun ke empat. Kami adalah dua orang sahabat yang bermain sejak kecil. Rumah kami tak berjauhan. Hanya kira-kira dua tonggak listrik sekitar 100m. Saking akrabnya, sejak kecil aku tidak pernah memanggil nama sahabatku ini dengan panggilan namanya. Begitu juga dia terhadapku. Kadang panggilannya sableng, kadang-kadang gendeng.
Malam ini aku sangat merindukan dia. Aku tau dia sudah punya pacar. Dia selalu cerita tu, baik di telp ataupun saat pulang setiap akhir semester. Menurut ceritanya, dia sayang buangat ama pacarnya. Orangnya ganteng, putih, tinggi dan agak kekar. Setiap dia pulang, pasti nanya
“Gimana pacarmu, bleng..?”
“udah aku putusin” kataku.
“Payah kamu ni.. Hari gini masih njomlo.. ha..ha..ha.. ku do’a in sampai ubanan kamu gak bakalan punya pacar, ha..ha..ha..”
“Oi gendeng.. bukannya bantu cari solusi, malah ndoain yang gak-gak. Kudoain juga biar pacarmu dapat pacar yang baru lagi, biar tau rasa kamu..”
“Gak mungkinlah.. dianya setengah mati mencintai ku..” kata Warti dengan nada serius.
“Emang kamu udah ngapain aja sama dia, sih” tanpa sadar terucap kata-kata itu dari mulutku. Aduuh koq aku nanya itu ya, pasti bakalan kena tabok ni gua, pikirku. Kami waktu kecil dulu saat ngaji di surau, malam minggunya kami latihan silat. Orangnya fair, kalau gak suka langsung dibilangin, kalau sedang marah kaki ama tangannya langsung main tu. Tapi ini hanya dilakukan padaku. Mungkin karena dia menganggap sudah seperti saudara kandung saja.
“Bleng.. kamu jangan menuduh yang macam-macam ya..!” kulihat raut wajahnya agak memerah. Jangankan untuk memelukku, memegang tangan ku ini aja, belum pernah..”
“iya..iya sableng… aku percaya.. Serius amat sih..!”
“Ya Iyalah.. kayak baru kenal aku aja, kamu ni..” semprot Warti tapi dengan nada yang sudah agak menurun. “Sekarang aku yang nanya lagi, kenapa kamu putusin pacarmu yang kemaren. Yang dulu kamu putusin karena gak ngerti kamu, sekarang kenapa lagi..?”
“Gak seperti kamu” jawabku datar
“Ha…ha…ha… Aduuh sableng.. mana ada orang yang seperti aku ini..” katanya sambil ngakak dan mendorong jidatku dengan telunjuknya. Sehingga kepalaku agak terdongak ke belakang.
“Katanya ada tujuh yang sama di dunia ini”
“Iya.. satu ada di Pakistan, satu di Afrika sana, satu lagi di Ethopia, kamu cari lah kesana, pasti ketemu tu..” Katanya sambil cekikikan..
“Koq negro semua..”
“Itu yang aku tahu yang mirip aku dalam mimpiku..” katanya sambil berlalu pergi.
Malam semakin larut. Aku masih setia dengan gitar tuaku dalam melantunkan lagu-lagu melankolis yang aku hapal. Aku ingat pada masa kecil dulu dimana aku dan Warti selalu bermain bersama. Warti sahabatku itu memang agak rada tomboy. Dia tak pernah mau bermain seperti layaknya anak-anak kecil perempuan bermain seperti main masak-masakan, main lompat tali. Dia selalu bergabung dengan teman laki-laki main kejar-kejaran, main layangan di sawah, ikut mengejar layang yang putus. Waktu kecilnya tidak pernah pakai rok, selalu pakai celana panjang atau celana pendek selutut. Rambutnya yang sebahu, membuat dia leluasa untuk bergerak. Kami selalu bersama. Kalau tidak bergabung dengan teman-teman lain yang sebaya, kadang kami main di rumah. Keluargaku dan keluarga Warti memang sudah akrab dari dulunya. Ayahnya seorang polisi. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Sedangkan ayahku bekerja di Pemda Kabupaten. Aku anak sulung dari dua bersaudara juga. Aku dan adikku jaraknya sangat jauh sekali. Waktu kami masih kecil-kecil, adikku belum lahir.
Usia kami tidak tidak jauh beda, hanya terpaut beberapa bulan saja. Dari kecil kami sudah sering bermain bersama. Ayahku dan ayah Warti sahabat sejak lama, sejak mereka masih bujangan. Jadi keluarga kami memang sudah akrab. Sering kami diajak bergi berlibur, bertamasya bersama. Kami pergi dengan mobil ayah Warti. Saat ayah ibuku ngobrol dengan papa mamanya Warti, aku dan Warti pergi main berdua. Sering diingatkan tu, “jangan pergi jauh-jauh ya..!”
Satu kejadian yang tak pernah kulupa, kejadiannya saat kami masih kanak-kanak. Aku dengar saat mamanya Warti bercerita pada ibuku. Memang waktu itu kami sedang bermain bersama. Saat itu memang kami tak ngerti apa-apa. Tapi setelah memasuki usia kuliah ini baru paham. Saat aku mengingatkan cerita itu sama Warti, wajahnya berubah tu. Pantat ku pasti jadi sasaran ditendangnya. Kadang aku sempat mengelak, kadang tiba naasnya, habis deh.. Tapi karena degilnya aku malah senang dan sering membuat dia marah tu, walaupun aku tau kalau diriku akan bakalan jadi sansaknya Warti. Kejadiaanya waktu itu papanya Warti dapat dinas keluar kota, pelatihan kepolisian beberapa minggu. Saat papanya dinas luar tu, Warti sering termenung, mungkin karena rindu sama papanya. Kadang ayahku sering menghiburnya. Ada terlihat raut senang diwajahnya. Memang dari dulu kami diajarkan memanggil orang tua teman tu sama panggilannya dengan anaknya. Aku memanggil papa dan mama Warti juga dengan sebutan papa mama, demikian juga dengan Warti memanggil ayah ibuku dengan sebutan ayah ibu. Pada minggu terakhirnya papa Warti dinas, mamanya Warti ini memakai training papanya.
Saat itu Warti bertanya, “Ma.. itu kan celana papa, koq mama pakai ?” Ini mungkin mamanya Warti juga rindu sama suaminya, maka dipakailah training yang sering di pakai suaminya itu.
“Iya.. nanti kalau papa pulang nanti mama buka !” jawab mama Warti dengan nada datar.
Saat itu memang belum ada hp seperti sekarang ini. Komunikasi hanya melalui telepon. Karena di rumah belum ada telepon, kami terpaksa menelpon ke wartel (warung telepon). Biasanya kalau nelpon itu diatas jam sembilan malam. Rupanya papa Warti pulangnya lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan. Papanya sengaja tidak menelpon, mungkin membuat kejutan buat keluarganya.
Sedang asyik-asyik kami main, datanglah papanya Warti, sambil meloncat loncat kegirangan, dia langsung bersorak-sorak. “Papa pulang…papa pulang..” Papa langsung memeluk Warti dan langsung menggendongnya. Kebetulan mamanya sedang belanja di warung depan rumah. Dengan suara yang sedikit lantang, “Mama.. bukalah celananya lagi, papa udah pulang..” Sontak aja semua orang yang ada di warung itu yang dominan ibu-ibu pada bengong dengar suara Warti. Udah jelas tu ada sebagian orang yang berpikiran ngenes tu ha…ha…ha…
Malam semakin larut. Mataku sudah mulai ngantuk. Aku menguap walau kadang sambil tersenyum kalau ingat kejadian-kejadian lucu dengan sahabatku itu. Akhirnya aku masuk ke kamarku. Kugantungkan gitar tuaku itu dan langsung merebahkan diri diatas kasur. Karena kecapek an, aku langsung tertidur dan bermimpi. Aku bermimpi dengan sahabatku. Rasanya kami mau ke pasar berjalan dari depan rumah menuju jalan raya untuk menunggu mobil tambang. Anehnya Warti menggandeng tanganku layaknya seorang istri menggandeng tangan suaminya sambil merebahkan kepalanya di pundakku.
Aku agak risih, “Bleng.. kamu apa-apaan sih..” dengan mencoba untuk menarik tanganku dari genggamannya.
“Diam aja kamu, kenapa sih.. aku mau belajar jari istri yang baik.” Sahutnya tanpa melepaskan tanganku.
“Malulah kalau nanti dilihat orang.” Kataku dengan memandang ke kesekeliling, kalau-kalau ada yang melihat kami.
Aku terbangun. Kudengar di mesjid sudah terdengar suara lantunan ayat suci al-qur’an. Ini bertanda tidak akan lama lagi akan dikumandangkan azan subuh. Aku langsung duduk dan bersiap-siap untuk pergi ke mesjid melaksanakan sholat berjamaah.
Kebetulan hari ini hari Minggu, setelah sholat subuh tadi aku pergi lari pagi untuk menghangatkan badan, sepulangnya aku mandi. Setelah sarapan, aku masuk lagi ke kamarku. Lagi malas aja keluar rumah. Sambil tidur-tiduran aku membaca buku-buku fiksi. Sekitar jam sepuluh pagi, aku dikejutkan oleh suara salam dari luar.
“Assalamualaikum.. Assalamualaikum..”Aku hapal betul suara itu, suara papanya Warti dan ada suara Wartinya. Aku keluar kamar. Rupanya ayah dan ibuku sudah sampai diruang tamu menyambut mereka. Tumben ni, pikirku datang sekeluarga ke rumahku. Papa sama mama, Warti sama abangnya. Istri sama anak abangnya memang tidak ikut. Aku lihat sahabatku Warti memakai baju gamis dengan jilbab dalamnya. Dalam hati berkata, “cantiknya dirimu.”
Setelah di persilahkan oleh ayah ibuku para tamu itu duduk, aku langsung ngoceh
“Bleng.. koq kamu gak bilang kalau kamu pulang.. Udah berubah kamu sekarang ya..? Kita duduk di teras yok.” Kataku..
“Eit..eit.. tunggu dulu.. Ayah dan ibu mau ngomong sama kalian”
“Apa-apaan ini sih..? Koq gak biasa-biasanya..” pikirku. Kulihat Warti hanya tersenyum saja. Aku tambah penasaran.
“Ada apa sih, Yah..? Koq Formal banget” tanyaku.
“Amru..” papanya Warti angkat bicara, “Warti memang gak bilang sama kamu kalau dia pulang, itu papa yang suruh. Bukan kehendak Wartinya. Jangan salahkan Warti ya.. Ini papa yang salah.”
Aku jadi semakin bingung. Seperti sandiwara aja pikirku.
“Sini, Nak..” ayah mulai dengan nada rendah. Pasti kamu heran. Kedatangan papa sama mama Warti kesini tidak seperti biasanya, kan ?”
Aku mengangguk, dalam hatiku masih berkecamuk. Biasanya kalau mama datang langsung menemui ibu ke dapur dan papa tu ke tempat ayah kadang ke kebun belakang ngobrolnya kadang di teras depan. Tapi sekarang malah di ruang tamu.
“Iya.. Am” ibuku menyela. “Kita berkumpul disini hendak membicarakan sesuatu. Kita ini kan sudah lama bersama. Kamu dengan Warti juga sudah akrab betul. Niat kita bersama, kami ingin menjodohkan kamu dengan Warti.”
Duaaaar.. jantung berdegup sangat kencang. Antara percaya dan tidak. Apakah ini arti mimpiku semalam, tapi kan Warti punya pacar seorang dokter di tempat kuliahnya. Beribu pertanyaan muncul di benakku. Aku melihat ke Warti, dia tertunduk kelantai, seakan tak mampu untuk melihat siapapun di rumah ini.
“Yah.. kami kan masih kuliah.” Kucoba untuk bersuara
“Kalian kan bisa tunangan dulu.” Mama Warti menimpa.
“Kalau menurut abang, sebaiknya kalian menikah saja. Malam pertamanya ditunda sampai kalian pesta natinya. Kan gak lama lagi, tu. Warti tinggal menunggu jadwal kompre, sedang kamu, Am kan tinggal wisuda doang. Kelar deh masalahnya kan.” Kata abang Warti sambil tersenyum.
“Yah, Ibu, aku males..!” kata ku. Semua orang yang ada di rumah itu bengong melihatku. Mungkin pikiran mereka sekarang ini yang berkecamuk tu.
“Kenapa, Nak..!” tanya ibu dengan nada sedikit terbata. Mungkin ada perasaan kecewa di hatinya.
“Aku males nolaknya” kataku sambil ketawa
“Ya, Allah, Naaak.” Orang tuamu, kau kerjain juga.. Seisi rumah ikut tertawa riang. Terlebih aku merupakan hari yang paling bahagia, karena orang yang selama ini selalu bersama, yang aku sayang dia, ternyata juga punya perasaan yang sama denganku.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kawan - Kawin",
Klik untuk baca:
Kreator: Alfred Anwar
Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com